Selamat Datang di Blog Numpang Lewat

Selamat Datang di Blog Numpang Lewat
Trims, anda telah bergabung dan berkunjung di blog ini
Blog ini adalah wadah untuk berbagi pengalaman, menuangkan ide-ide, serta sebagai ajang kreativitas para bloger yang mau berpartisipasi dan menyumbangkan pikirannya melalui blog ini.

Kamis, 06 Maret 2008

MAKALAH

SASTRA EKSIL: MEDIA PERLAWANAN POLITIK,

CINTA TANAH AIR DAN EKSISTENSI KARYA SASTRA

Amin Mulyanto, S.S.

Abstract

Political condition of a state influences literature development. The Politic is identic with a power. The power stressed exile writers to reveal imagination of thinking. Their work is forbidden to expose in public. Because it is predicted to disturb the state stabilization. This paper discussed exile literature as political struggle mediation, nationalism and literature existence.

Keywords: Exile, Political struggle mediation, nationalism and literature existence.

1. Pendahuluan

Situasi dan kondisi suatu negara sangat berpengaruh pada perkembangan sastra. Karya sastra biasanya mengikuti realitas yang terjadi, para penulis biasanya terpengaruh dengan situasi dan kondisi tersebut. Penulis terkadang mengaktualisasikan imajinasi dan ide kreatifnya sejalan dengan situasi dan kondisi negara pada saat itu. Di era tahun 65-an perkembangan sastra tersendat oleh karena kondisi politik negara yang tidak stabil. Kondisi politik negara pada era itu sedang bergolak, dibarengi oleh aksi pemberontakan besar yang dilakukan oleh G 30 S/PKI. Dampak yang ditimbulkannya pun bermacam-macam, sehingga merubah sistem dan kebijakan pemerintahan terhadap peranan sastra. Peran serta sastrawanpun tidak sebebas dengan apa yang diinginkan sastrawan terhadap karya yang diciptakannya.

Seperti yang kita ketahui, umumnya sastrawan identik dengan kebebasan. Namun kebebasan tidak mutlak milik para sastrawan. Keberadaan negara sebagai unsur tertinggi dalam pemerintahan memberikan batasan yang signifikan kepada warga negara termasuk sastrawan untuk merealisasikan kebebasannya dalam karya ciptanya. Hal ini terkadang juga bertentangan dengan interprestasi mereka dalam mengartikan bentuk kebebasan tersebut. Tidak bisa dipungkuri bahwasanya sebagian besar sastrawan sangat idealis dalam menceritakan realitas yang terjadi di lingkungannya sebagai suatu bentuk kepedulian terhadap sosial masyarakat dan kecintaannya terhadap sebuah negeri.

Kekuasaan adalah mutlak dan bergantung siapa yang memegang tampuk kekuasaan itu. Upaya memperkukuh kekuasaan untuk memerintah dapat dijalankan dengan melawan siapa saja yang dianggap membahayakan atau mengurangi kekuasaan pemerintahan melalui alat-alat kekuasaan negara, misalnya antara lain dengan melarang dan menyita karya-karya yang dianggap sebagai lawan politiknya.

Pada masa orde baru berkuasa, ada larangan terhadap sejumlah karya sastra karena penulis-penulisnya dituduh terlibat dalam G 30 S/PKI, sehingga karya tersebut tidak terjamah oleh pembaca sastra Indonesia, termasuk sastra eksil. Sastra eksil adalah sastra yang ditulis oleh para sastrawan yang hidup dalam pembuangan politik di luar negeri kelahiran mereka sendiri. Perbedaan ideologi politik dengan pemerintahan yang sedang berkuasa merupakan alasan utama terjadinya pembuangan politik tersebut.

Namun, belakangan ini perbincangan mengenai sastra eksil kian mengemuka yang diiringi dengan penerbitan sejumlah karya-karya mereka. Sebut saja Kisah Intel dan Sebuah WarungPerang dan Kembang karya Asahan Alham, Di Bawah Langit tak Berbintang dan Menuju Kamar Durhaka karya Utuy Tatang Sontani, antologi Di Negeri Orang: Puisi Penyair Eksil Indonesia, karya Asahan Alham, Sobron Aidit, dan kawan-kawan. karya Sobron Aidit, adik kandung DN Aidit,

1.1 Pengertian Eksil

Mengutip pendapat dari seorang eseis Saut Situmorang dalam Cybersastra.Net. yang berjudul Sastra Eksil, Sastra Rantau; pengertian “Eksil” diambil dari bahasa Inggris “exile”, yang memiliki tiga pengertian, yaitu:

1. Sebuah ketakhadiran, sebuah absensi yang panjang dan biasanya karena terpaksa dari tempat tinggal ataupun negeri sendiri.

2. Pembuangan secara resmi (oleh negara) dari negeri sendiri, dan

3. Seseorang yang dibuang ataupun hidup di luar tempat tinggal ataupun negerinya sendiri (perantau, ekspatriat).

Istilah “exile” itu sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu “exsilium” (pembuangan) dan“exsul” ( seseorang yang dibuang ).

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor dislokasi geografis dari tempat kelahiran ke sebuah tempat asing merupakan faktor utama yang menciptakan kondisi yang disebut sebagai “eksil” itu. Dislokasi geografis itu sendiri bisa terjadi karena disebabkan oleh negara secara resmi ataupun karena pilihan pribadi. Pada kasus pertama, para pelarian politik segera muncul dalam pikiran kita sebagai representasi dari mereka yang diusir dari negeri kelahiran sendiri oleh pemerintahan yang sedang berkuasa, sementara pada kasus kedua kita segera teringat pada para pengungsi, para transmigran, dan para perantau yang mencari hidup baru di luar tempat kelahiran mereka.

Dalam sejarah sastra modern Indonesia para sastrawan yang punya hubungan dengan institusi seni di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI) yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan hidup dalam pengasingan/pembuangan politik di luar Indonesia selama pemerintahan rejim fascis kapitalis Orde Baru adalah para sastrawan eksil Indonesia menurut definisi arti di atas. Para sastrawan yang kebanyakan hidup di Eropa Barat yaitu di negeri Belanda dan Prancis itu dengan terpaksa memilih hidup dalam pembuangan politik itu karena keyakinan mereka bahwa mereka akan segera dijebloskan ke dalam penjara atau Pulau Buru kalau mereka kembali ke Indonesia. Atau mungkin juga dibunuh. Apa yang terjadi pada ratusan ribu korban kudeta militer di tahun 1965, yang dinyatakan oleh pemerintahan militer yang berkuasa kemudian sebagai kudeta yang didalangi oleh PKI, menjadi alasan masuk akal bagi para sastrawan Lekra untuk tidak kembali ke Indonesia dan memilih hidup eksil di negeri asing.

Keberadaan “sastra eksil” Indonesia di luar negeri selama ini hanya diketahui oleh segelintir pembaca sastra modern Indonesia yang kebetulan hidup di negeri yang sama atau berdekatan dengan negeri tempat hidup para sastrawan ini atau yang mendapat akses ke karya mereka walau hidup di dalam negeri Indonesia sendiri. Dua nama dari kelimabelas penyair yang muncul dalam kumpulan puisi para “sastrawan eksil” yaitu Agam Wispi dan Sobron Aidit.

2. Pembahasan

2.1 Media perlawanan Politik

Kondisi politik bagi sastrawan eksil sangat membatasi ruang gerak mereka dalam berkarya. Karya-karya yang mereka hasilkan sangat memungkinkan untuk di bredel, melihat latar belakang mereka yang cenderung ‘sayap kiri’ (masuk dalam sastrawan Lekra). Karya sastra bagi mereka merupakan media pengungkapan realitas sosial masyarakat dan sosial politik yang terjadi. Namun bagi pengendali kekuasaan pada era itu dianggap sebagi media perlawanan politik. Karena kebijakan yang diberlakukan berseberangan dengan pandangan sastrawan eksil terhadap sastra, seni dan kebudayaan, maka sastrawan yang hanya bisa bicara melalui karyanya, secara tidak langsung menyentil protes-protes terhadap pemerintah.

Politik adalah hal yang bertalian dengan kekuasaan atau power. H.J.Morgenthau, seorang pakar politik mengatakan bahwa “ power means man’s control over the minds, and actions of other men”. J.C. Johari juga mengatakan sebagai berikut:

Power: it is the faculty or capacity to conquer in a contest. Force is an adjunct, not an essence of power. The potrncy or capacity to manipulate the will and activities of others to make them conform to the power seeker’s will is the central point in power. Power may be based on other elements like fraud, ingenuity, or combinationand group tactics. It can also be derived from established constitutional and legal procedures. In general and also in the ultimate analysis, international politics is to manifestationof power. Ideology may only be the mask for hiding the uglier picture of power.

Seperti yang pernah di jelaskan pada halaman terdahulu bahwa politik identik dengan kekuasaan. Pelaku-pelaku politik mempergunakan segala macam cara untuk mecapai tujuan politiknya, antara lain melalui karya-karya sastra. Pada masa orde baru di bawah Presiden Soeharto, karya-karya sastra dianggap mengganggu akan menggerogoti kekuasaannya, sehingga pelarangan atas karya-karya besarpun diberlakukan demi sebuah integritas bangsa. Karya-karya Pramoedya Ananta Toer seperti Rumah Kaca, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa dilarang beredar karena dianggap membawa pengaruh buruk bagi Negara.

Pemikiran politik yang salah seperti di atas mudah sekali mengalutkan pandangan sosial pengarang, dan bentuk-bentuk serta pengucapan sastra yang secara akademik memenuhi segala syarat mungkin bisa menjadi wadah kekalutan yang tak perlu ada. Sehingga banyak sastrawan yang menceburkan diri mereka ke dalam komunitas-komunitas tertentu sebagai akibat interferensi politik pada masa itu.

Kelahiran Lekra dinilai sebagai reaksi terhadap realitas politik kultural yang mencemaskan serta melihat jelas, bahwa pengucapan kebudayaan dan sastra khususnya harus berdasarkan realitas yang sedang berkembang, dan terutama sekali pengucapan-pengucapan tersebut harus dipertanggungjawabkan secara politik.

Pada awal tahun 60–an Pramoedya mengemukakan pandangannya mengenai sastra dan hubungannya dengan keterlibatan sosial politik seniman. Artikel-artikelnya dimuat dalam Lentera, suplemen budaya (yang ia edit) dari koran sayap kiri, Bintang Timur. Salah satu judul artikelnya adalah ‘Jang Harus Dibabat dan Jang Harus Dibangun’. Dalam artikel itu pramoedya menyentil ideologi dari rezim Soekarno—sebagai kalangan ’Jang Harus Dibabat’. (Toer dalam Allen 2004, 28)

Pramoedya juga prihatin akan konsekuensinya jika sastra dibajak oleh politik, menurut dia sastra seharusnya mencakup semua aspek kehidupan manusia. Seperti kutipan dalam eseinya :

Tak djarang apa jang dinamakan kesusastraan itu tjampur aduk dan merupakan bahan gubal antara sastera, propaganda, antipati terhadap politik tertentu, dengan melupakan kemungkinan-kemungkinan lain. Dalam hal ini kesusastraan jang sesungguhnya dikurbankan oleh dan untuk politik. Kesusastraan demikian adalah kesusastraan propaganda jang belum lagi patut mendapat nama kesusastraan. (Toer dalam Allen 2004: 30)

Dari kutipan di atas sangat jelas sekali bahwa sastra digunakan sebagi media perlawanan politik. Padahal Pramoedya sebagai salah satu sastrawan eksil mengatakan bahwa kesusastraan yang seperti ini bukanlah patut untuk dinamakan kesusastraan. Karena kesusatraan seharusnya mencakup semua aspek kehidupan manusia.

Meminjam istilah diskursus pascakolonialisme, eksil Indonesia lebih mirip sebagai komunitas subaltern, subyek yang dibungkam dan tertekan. Secara lebih umum, mereka yang berada di tingkat "inferior".

Seperti dituturkan Asahan Alham dalam Perang dan Kembang terutama pascatragedi tahun 1965 di Indonesia yang mengakibatkan manusia tidak berdosa turut menjadi korban. Terutama yang menimpa keluarga Salam, tokoh utama dalam novel tersebut. "Semua orang bisa dituduh komunis asal yang menuduh punya senjata, punya kekuasaan. Kalau sudah dicap komunis, boleh dibunuh, seperti tikus dan ayam. Atau boleh ditangkap, seperti menangguk ikan, besar atau kecil yang masuk ke dalam tangguk itu, diambil dan dimakan."

Hal serupa juga terdapat dalam Menuju Kamar Durhaka karya Utuy. Terutama dalam salah satu cerpennya Anjing. Cerita itu ditulis Utuy saat berada di Moskwa, yang menceritakan retaknya hubungan para eksil di Tiongkok akibat perilaku yang mementingkan diri sendiri, bak "anjing".

Dalam cerpen itu, kehidupan para eksil Indonesia di perkampungan di Tiongkok terbagi atas dua golongan. Utuy dan kawan-kawannya adalah golongan yang oleh pihak lainnya disebut "penentang". Sedangkan golongan lainnya disebut "pemerintah". Disebut golongan "penentang" karena mereka mengatur kehidupannya sendiri. Sementara, mereka yang disebut "pemerintah" karena mereka diberi wewenang untuk melaksanakan segala peraturan dari pihak kawan di Tiongkok untuk mengurus kehidupan semua eksil di situ. "Anjing-anjing" itu secara statistik termasuk golongan "penentang". Gara-gara banyak anjing, pihak pemerintah berusaha untuk mengeluarkannya dari perkampungan.

Karya-karya sastrawan eksil diatas sebetulnya karya nyata yang membicarakan kehidupan masyarakat dalam menghadapi kondisi dan situasi yang ada. Mereka sebetulnya juga mengkritisi kebijakan yang berlaku, namun karena latar mereka yang eksil, para sastrawan itu dianggap sebagai musuh politik. Artinya bahwa karya sastra yang mereka tulis dianggap sebagai media perlawanan politik oleh pemerintah.

2.2 Cinta Tanah air

Sebagai anak bangsa, semestinya seorang penulis mempunyai kecintaan yang luar biasa terhadap kampung halamannya. Wujud kecintaan itu cukup mendasar dan merupakan harapan, kenangan dan pengalaman terindah yang pernah dimiliki oleh seorang warga yang baik. Goenawan Mohammad memberikan gambaran mengenai tanah air sebagai berikut:

Tanah Air adalah sebuah proyek yang ditempuh bersama-sama. Sebuah kemungkinan yang menyingsing, sebuah cita-cita yang digayuh generasi demi generasi, sebuah impian yang kita jalani dengan tungkai kaki yang kadang capek dan kesadaran yang kadang tanpa fokus. Bagi Goenawan, Tanah Air adalah sebuah ruang masa kini kita arungi karena ada harapan untuk kita semua kelak. Tanah Air adalah sebuah engagement. Kenangan, pengalaman, engagement: kata-kata itu semua menunjukkan bahwa ketika kita berpikir tentang Indonesia, kita tak hanya mengetahui dan menyimpulkan, tapi berdiri, dengan kegembiraan dan kesedihan, dengan waswas, dan berharap (Goenawan Mohamad, Tempo, 28/5/2000).

Pernyataan Goenawan itu sebetulnya juga dapat dilihat dalam karya-karya sastra eksil. Seperti diungkapkan Sobron Aidit dalam Kisah Intel dan Sebuah Warung. Menurutnya, kalau di Jakarta, misalnya, rasa takut, khawatir, dan waswas selalu saja menghantui. Ini sangat menyedihkan. Mungkin terlalu banyak mendengar dan membaca koran atau mendengarkan berita radio-televisi yang selalu memberitakan kejahatan, perampokan, penjambretan, dan sebagainya. Pada kenyataannya memang ada bayangan yang selalu mengikuti. Sejarah gelap bagi keluarga, dan orang-orang sepertinya, yang sangat menyedihkan. Tidak semua orang dan tidak semua keluarga, serta teman yang dulu dekat, mau dan bersedia menerimanya. Karena itu, bisa dipahami, eksil Indonesia sangat haus bergaul dan bertemu dengan orang Indonesia. Bila bertemu orang Indonesia atau bertemu muka, ngobrol, cerita-cerita, bukan main senangnya.

Sementara itu, dalam memoar Di Bawah Langit tak Berbintang karya Utuy Tatang Sontani sedikit sekali menyinggung kerinduannya pada Tanah Air, kepada istri, dan anak-anaknya. Berita-berita dari radio dari Tanah Air yang kian lama kian santer menceritakan pengejaran dan pembunuhan terhadap orang-orang komunis dan progresif, sengaja dihindarinya. Termasuk mendengarkan musik-musik Indonesia. Di Bawah Langit tak Berbintang merupakan bentuk kekecewaan Utuy melihat realitas komunitas eksil Indonesia di Cina.

Kepedihan tak terperi memang nyaris mewarnai sastra eksil Indonesia. Baik Utuy, Sobron, maupun Alham, dan lainnya. Sekalipun berada di pengasingan, ingatan kolektif mereka tidak pernah berhenti untuk berpikir tentang Tanah Air. Sebagai tempat lahirnya kenangan gembira dan sedih, pengalaman pahit dan manis, serta keterlibatan bersama dalam membentuk sebuah Tanah Air. Nun jauh di sana, Tanah Air, tak lebih hanya sebagai "komunitas terbayangkan"-meminjam istilah Benedict Anderson yang tersohor. Mereka membayangkan diri, seolah- olah berada di Indonesia. Atau paling tidak mereka dilahirkan dan pernah berpijak di Indonesia.

Seperti halnya bangsa, Tanah Air, tampaknya juga bagi para eksil merupakan sesuatu yang imajiner karena para anggota terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan sebagian besar anggota lain itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar mereka. Namun, toh di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka (Benedict Anderson, 1999: 7).

Soal ini mungkin bisa sedikit terjelaskan kalau ditoleh latar sejarah mereka menjadi eksil. Saat peristiwa tahun 1965 terjadi, mereka sedang berada di luar negeri dengan berbagai tujuan, mulai dari tugas belajar, anggota sekretariat organisasi internasional, sampai menjadi delegasi suatu perayaan. Informasi yang simpang siur, identifikasi diri dengan ide-ide kiri yang sedang ditumpas kelor di Tanah Air, membuat mereka harus menunda kepulangan. Penundaan terus berlanjut seturut makin digdayanya penguasa baru. Pokok penting di sini adalah perkara “penundaan kepulangan”, karena di atas kesadaran inilah semuanya mereka bangun. Sampai akhir tahun 1980-an, kewarganegaraan Indonesia enggan mereka lepaskan. Mereka memilih berstatus pengungsian politik daripada harus berganti kewarganegaraan, dengan keyakinan suatu saat akan pulang. Anjak usia senja jualah kemudian yang berhasil memaksa mereka berganti kewarganegaraan, sebagai syarat mendapat pensiun. Sekarang ketika kesempatan pulang datang, usia pula yang menghambat untuk mulai membiasakan lagi jongkok di toilet dan uang pensiun yang tidak bisa dikirim ke Tanah Air.

Dalam dunia tulis-menulis, latar di atas tentu saja berbicara banyak. Tidak ada dorongan bagi mereka belajar bahasa setempat untuk kebutuhan menulis, karena “toh akan pulang”. Tak mengherankan kalau dalam pengantar singkat buku ini, Asahan Alham memaparkan kesulitan mengumpulkan puisi dengan tema kehidupan di pengasingan. Akhirnya yang terkumpul adalah tema-tema yang menunjukkan bahwa mereka adalah penulis eksil: kampung halaman, kegelisahan melihat situasi politik Tanah Air, perjalanan tanpa tujuan dan akhir, atau kabar kepada sahabat di Tanah Air. Mereka berkarya dengan kesadaran sebagai orang yang sedang berada di luar negeri, bukan tinggal. Memori dan kabar dari Tanah Air lebih dominan sebagai sumber inspirasi dari pada keseharian nyata di negeri orang. Ingatan adalah satu-satunya tempat identitas bisa mereka jangkarkan karena secara legal mereka kini bukan orang Indonesia lagi dan komunitas Indonesia yang “resmi” berada di luar negeri pun menolak mengakui mereka. Harta mereka adalah “cermin sekeping” (Soepriadi Tomodihardjo, Cermin di Dinding, hlm 187) yang sekali waktu memantulkan bayang nenek moyang yang tak lagi bisa mereka akui tanpa rasa getir.

2.3 Eksistensi karya sastra:

Eksistensi “sastra eksil” ini menjadi lebih luas diketahui para pembaca sastra modern Indonesia terutama di Indonesia sendiri dengan diterbitkannya sebuah kumpulan puisi bernama Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil oleh Yayasan Lontar baru-baru ini. Kumpulan puisi yang tebal dan berkesan luks ini memuat 15 penyair yang oleh Ketua Dewan Redaksi buku Asahan Alham, yang juga merupakan salah seorang penyair yang puisinya ikut dalam buku, diklaim sebagai “sastrawan eksil” Indonesia.

Walaupun klaim bahwa “sastra eksil” Indonesia itu ada tidak bisa dibantah dan buku Di Negeri Orang merupakan bukti historis dari klaim tersebut, sempitnya definisi yang diberikan atas istilah “sastra eksil” itu sendiri telah menyebabkan terjadinya sebuah anomali tekstual dalam bentuk penghapusan nama Sitor Situmorang dari daftar nama para penyair yang diklaim sebagai “sastrawan eksil” Indonesia. Berdasarkan definisi pengertian istilah “eksil” yang saya utarakan di awal esei ini, Sitor Situmorang adalah seorang sastrawan eksil sejati. Sitor telah hidup sebagai sastrawan eksil “sukarela” di tahun 1950an di Belanda dan Prancis, lama sebelum kelimabelas penyair Di Negeri Orang benar-benar menjadi “sastrawan eksil”. Sitor juga menjadi korban politik kudeta militer tahun 1965 dan bahkan dipenjarakan selama beberapa tahun. Setelah keluar dari penjara, kembali Sitor memilih hidup sebagai penyair eksil di luar Indonesia sampai beberapa tahun terakhir ini.

Para pembaca sastra modern Indonesia, khususnya puisi modern Indonesia, tentu sangat akrab dengan sebuah sajak eksil paling terkenal dalam sejarah sastra modern Indonesia yang ditulis oleh Sitor Situmorang dan bahkan dijadikan sebagai gelar kehormatannya, yaitu “Si Anak Hilang” (1955).

Sebagai kelompok subaltern, melalui karya-karyanya para eksil berusaha menemukan kembali suara-suaranya yang selama ini dibungkam. Mereka juga berusaha untuk bebas dari pengaruh kekuatan elite yang mengungkungnya. Selain itu, melalui sastra para eksil berusaha merepresentasikan dirinya yang menderita, merana, kesepian, terasing, yang selama ini menyesakkan hati dan pikiran. Semuanya mereka tumpahkan.

Dengan meminjam istilah Martin Heidegger, Lichtung, yang berarti "cahaya" dan "pembukaan" (wilayah), diskursus sastra eksil akan mengingatkan kita bahwa identitas selalu didukung oleh keberadaan yang lainnya. Dalam konteks ini, sastra eksil. Sejalan dengan pandangan Asahan Alham bahwa sastra eksil juga bagian dari kekayaan sastra Indonesia. Memperlakukannya sebagai anak tiri atau bahkan tidak mengakuinya sebagai anak karena cacat tak molek, hanya akan mempermalu diri sendiri.

Seiring perjalanan waktu dan dengan kekhasan tersendiri, memang sudah sewajarnya sastra eksil berbicara dalam kancah sastra Indonesia dan tidak lagi sebagai "sastra minor" (a minor literature). Terutama untuk merajut kembali benang kemanusiaan dan sejarah sastra yang sempat putus.

3. Penutup

Istilah ‘sastra eksil’ memberikan wacana baru bagi pembaca, selain itu melalui karya eksil kita bisa mengenal—paling tidak sebagai pelengkap—sejarah politik Indonesia, mengenal solidaritas internasional yang memperlihatkan arti bangsa bagi kemanusiaan, dan mengenal psikologi kaum eksil. Karya-karya eksilan tidak lain dari esai kritik terhadap perjalanan sejarah Republik Indonesiaan Kekinian. Sastra eksil juga memberikan wacana baru bagi perbendaharan istilah sastra dan juga menambah maraknya perkembangan sastra di Indonesia khususnya.

Sumber data

Cybersastra.Net.

Alham, Asahan, 2002. Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil. Jakarta: Amanah Lontar (Jakarta) bekerja sama dengan Yayasan Sejarah dan Budaya IndonesiaAmsterdam)

Daftar Pustaka

Alham, Asahan, 2002. Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil. Jakarta: Amanah Lontar (Jakarta) bekerja sama dengan Yayasan Sejarah dan Budaya IndonesiaAmsterdam)

Allen, Pamela. 2004. Membaca, dan membaca lagi (Re interprestasi Fiksi Indonesia 1980-1995). Jakarta: Indonesia Tera.

Damono, Sapardi Djoko. 2004. Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Rokhman, Muh. Arif. 2003. Sastra Interdisipliner, Menyanding Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Yogyakarta: Penerbit CV. Qalam.

Sitomorang, Saut. 2001. Cyber Grafitti: Polemik Sastra Cyberpunk Kumpulan Esei. Bandung: Penerbit.Angkasa

Situmorang, Saut. 2006. Sastra Eksil, Sastra Rantau http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=195

Sontani, Utuy Tatang, 2002. Mementaskan Utuy, Mempertanggungjawabkan Sejarah. http://www.indonesia-house.org?arts (diakses 11 Feb 2003)

Supartono, Alex. Membangkit Batang Terendam, Menebus Kembali Sejarah Puisi Indonesi.Cybersastra.net.



Tidak ada komentar: