Selamat Datang di Blog Numpang Lewat

Selamat Datang di Blog Numpang Lewat
Trims, anda telah bergabung dan berkunjung di blog ini
Blog ini adalah wadah untuk berbagi pengalaman, menuangkan ide-ide, serta sebagai ajang kreativitas para bloger yang mau berpartisipasi dan menyumbangkan pikirannya melalui blog ini.

Rabu, 09 April 2008

KOLOM PUISI

Suara-suara

Suara itu nyaring terdengar

Menggema sampai pelataran

Di ibukota yang terlalu riuh, bising dan berpolusi

Suara itu tetap mengalun


Telinga sebagian manusia tertutup

Dan akrab dengan dentingnya

Kini merasa risih akan kebisingan

Tuk menyapa hampa yang mulai diakrabi


Kini semua jadi kenyataan

Suara-suara itupun tak bisa dihalau

Oleh kekuatan alam yang terpesona

Atas ulah sebagian manusia


Sayup meronta, membahanakan detak

Pada batas waktu yang ditentukan

Dan dentingpun semakin berkecamuk

Di antara waktu yang berjalan


Segelintir manusia masih terpesona

Mendengarkan suara-suara yang bercengkrama

Di antara kekuatan yang merasuk

Pada jiwa sebagian manusia


Karena hilir mudik yang kian kentara

Membumikan persada nusantara

Pada janji-janji usang

Yang terkemas dalam lembut suara-suara menyapa


Hingga ngiang itu semakin kokoh

Pada kekuatan yang kian terbangun

Dari sebongkah tatanan harap

Yang semakin kosong akan masa depan

Agustus 2008


Lord of Parking

In the road

So crowded vehicle in the way

Seeking the park area

To get a rest a moment

A long way

A man is standing up

Wait a driver give a sign

Turn in left to park

Give an instruction

To a driver is looking for space

In an empty path

In good position

Thank for your instruction

Will be said by more driver

To a good parker

In his every step

Agustus 2008

Pada Sebuah Persimpangan …

Berjalan meniti jejak

Selangkah demi selangkah menuju peraduan

Nun jauh di sana terbentang dua persimpangan

Yang harus dilewati

Mengungkap yang belum pasti tergali

Sebuah kisah yang masih dan akan dijalani

Sosok pergulatan diri

Dalam meniti sebuah kehidupan

Tabir dan naluri mulai bercengkrama

Menyibak apa yang harus dilakukan

Hingga pada satu pilihan

Ya atau tidak

Kecenderungan atas segala emosi

Atau kesabaran yang menanti

Kan menorehkan suatu langkah

Jejak yang pasti berjalan

Di antara kekuatan dan bisikan menggoda

Rasa keakuan yang mendominasi

Setiap insane pemilih

Pada batas-batas persimpangannya

Harap akan sebuah asa atau bayang

Dititik kulminasi perenungan

Yang kian mendera dan berjalan

Pada benak yang terus mencari

Tapal batas di antara kedua persimpangan

Hingga akhiri satu keputusan

Ya… yang harus dilewati

Atau tidak… yang tertunda

Dan pastikan ya… karena tuk jumpai kisah yang mau diungkap

Dalam rangkaian kisah nyata

Yang pastikan tertoreh dalam sebuah perjalanan

Atau tidak…. Yang pasti terhenti

Pada persimpangannya.

14.52 WIB

Palembang, 06063008

Kala senja memanggil …..(marjinal)

Hela nafasku tersendat oleh dahaga yang mendulang

Sisi-sisi kehidupan terasa gelap

Amarah dan tangis membayangi rentetan tragedi esok

Menyongsong ke kehidupan yang lebih baik

Meskipun hanya sedetik, sejengkal harap tetap terus diburu

Rasa haru dan sakit terasa memaksa senja ini

Karena esok belum tentu menjadi lebih baik

Karena hari ini memang kurang baik

Apalagi hari depan

Dan akankah tetap berjalan pada batas-batas kewajaran

Atau menyesuaikan dengan kedaaan

Jikalau ada harap kan terjulang

Jikalau kesempatan memanggil

Jikalau ulang masih memberi harap

Akan kesempatan yang tak pernah terulang

Dan akupun masih tertunduk pada sebuah keadaan..

15.20 WIB

Palembang, 10062008

Larut

Ku dihentak oleh suara badai

Yang terus berdentum

Di arena pergolakan, menderu, menyisir desir sampai ke hamparan pasir

Hingga belum sempat terlewati untaian daun melambai

Ku tak pupus oleh anyir menyengat

Yang terusir sampai ke pinggiran samudra

Letih dalam kubangan desir

Hingga surut membawa ku ke tengah

Dan ku dikemudikan oleh gejolak

Alam yang kian menderu

Membisik rasa haru yang kian kuat

Menghentak hingga ke dasar lautan

Dalam dan terdalam

Sebuah kehidupan penuh pesona dan keberagaman

Terukir bersama kesejukan dan ketenangan

Mengikuti air yang terus mengalir

Mengikuti Gelembung hingga ke permukaan

Mendesir bisik keberagaman

Yang tergambar pada wajah-wajah yang terlewat

Diantara segerombolan harap

Menuju satu kehidupan yang tertuju

Dalam kancah pergolakan yang ada disekitarnya

Muatan arti dan makna yang kian terangkai

Dalam dentuman asa yang kian jauh

Terkejar dan dikejar dalam perjalanan panjang setiap mahluk

Yang terkecil hingga terbesar

Dan itupun masih dalam kejaran

Hingga bertemu pada satu sisi kebenaran

Satu titik temu yang memutuskan

Segala yang mendasar dari semua mahluk

Itupun masih dalam satu pemahaman yang terus mengalir hingga sampai pada ajal.

14.21 WIB

Palembang, 2 juni 2008


TERGOLEK

Luapan amarah mengusik lamunan panjang

Di antara beribu cemas yang semakin kuat

Mencengkeram naluri menciut

Menuju estetika hidup yang kian jauh

Di belantara hati dan jiwa yang belum menyatu

Terukir senyuman pahit yang menghias tatanan kalbu

Menguntai kekusutan yang kian kaku

Bersama bayangan semu menjelma

Pada kekakuan sebenarnya

Dan semua masih dalam proses …………………………………… ?

……………………………………….pada akhirnya tergolek .

11.24 WIB

Palembang, 03062008


Senyum

Denting waktu terus berdetak

Beribu ruang hampa menggemakan suaranya

Mendengung hingga terdengar lirih

Mengukir kenangan indah sesaat

Terbuka perlahan jendela ruang pengap

Menggores himpitan dinding

Yang terasa kian sempit

Untuk meluangkan waktu bergerak

Menyisir dan menata kaakraban

Antara waktu, ruang, dan diri

Hingga jadi satu

Menyatu dalam wujud terindah

Mewujudkan kesepakatan

Sebuah senyum dalam diri


08.55 WIB

Palembang, 06062008



Spontanitas


ah….

sang waktu mulai menjemput

saat mentari bersinar menerangi wajah kusut

malam kelam menyapa

menyaput peluh siang terang

panas..

keringat membasahi sekujur tubuh

dan sang waktu pun tetap menjulang

tinggi menjelma

dan beribu manusia mulai terkantuk

karena malam tlah memadati

jiwa yang lelah oleh gelimang dunia

namun

di saat semua mulai reda

hamparan langit pun tertawa

menyaksikan kesibukan yang meraka tinggalkan

dan suara sunyi pun mulai mencekam

dalam lelap malam yang semakin gelap.

hai

hari pun semakin sombong

diterpa waktu yang mulai redup

sebagian manusia masih bisa tertawa

menyaksikan kebisuan alam yang tak lagi bersahabat

apakah dunia tak lagi bercahaya

karena ulah segelintir manusia

emosi dan amarah terasa hampa

dijejali waktu yang kian usang

oh

adakah kerinduan akan esok

menjemput semua impian dulu

yang semakin terlupakan

oleh waktu yang semakin sempit

untuk berpijak

berkelana

dan berkelakar

menyongsong ke kehidupan mendatang.

Palembang, 2 April 2008


Rindu

Jauh

Terhempas batas-batas cakrawala

Meniti buih yang tak lagi kosong

Penuhi diri atas pergolakan nurani

Meskipun hampa selalu menjemput

Diri pada batas pencarian

Cakrawala terus mengusik setiap langkah

Di saat lamunan panjang mengucap

Kepuasan batin yang terus bergolak

Menata hampa yang kan terus menjemput

Nurani akan terus berucap

Atas diri yang semakin jauh

Dari peraduan sepi

Yang kian hari kian bertambah layu

Akankah ku ungkap dan ku raih

Harapan akan sebuah cakrawala hidup yang semakin redup

Akankah peraduan itu aku jemput

Hingga ketemukan satu asa yang kian pasti

Hidup yang kan selalu berjalan

Pada batas kewajaran yang nyata


Cinta

Tafakur ku di jelang malam

Mengukir rasa yang penuh harap

Hati pun terasa suntuk

Menata peraduan hidup di sela-sela waktu

Waktu masih terus bergulir

Dalam dekapan setiap detik nafas

Terengah di pertengahan jalan

Mengukir kenang yang penuh harap

Rasa pun semakin nampak

Meskipun berdetak perlahan

Di kedalaman batin

Yang terus merindukan harap

Akan esok yang terus tersenyum

Senyum yang terindah

Yang mampu membuatku hanyut

Dalam buaian malam

Yang penuh dengan gemerlap cahaya

Cahaya hati

Yang mampu menyinari relung-relung jiwa

Hingga tersirami rasa damai

Yang penuh kecintaan

Palembang, 3 April 2008




Puisi kiriman dari seorang sahabat:


SEBUAH RENUNGAN JIWA


Aku berpijak pada sebuah naluri pribadi

Terlewat pada kekuasaan hati yg terlerai air mata

Bersujudku pada sebuah jiwa yang kosong

Terlewat aku ketika ahklak mulai di pertanyakan

Gurau dan canda tak bisa mencairkan asa yang telah mati

Kusebut namanya semakin keras

Walaupun dengan bantuan hembusan suara angin

Tetap saja membuatku tersungkur pada pusara khilafan

Hati bernanar derita hawa nafsu menguasai jiwa

Aku lelah jiwa ku juga lelah ketika semua di pertanyakan

Ku bangun dengan napas yang sesak

Kumulai mencari jati diri dengan sedikit rasa percaya diri

Semua tak dapat bergerak dengan semestinya arapkan jiwa

Kumerintih dan menjerit

Ku tak berdaya tak kala takdir berbicara

Ku hanya merintih menyesali segala keegoisan hati

Ku hanya menangis menyesali kebusukan jiwa

Tanpa kusadar ku terjatuh dalam pelukan ilahi

Tanpa sadar hati ini butuh sentuhan rohani

Tanpa sadar ku menitikkan air mata penyesalan

Dan kusadar ku butuh menyucikan diri

Dan kusadar ku telah lalai pada jiwa ini


Renungan jiwa

By:

Merkin ball distro

Fitri widiyanti

1 komentar:

Aku, langit, dan Sajak mengatakan...

KAMALI DI SEPULUH

;Pamanku Alfailun

Sapoaati yang menjalari pantai
Mencipta prahara
Tentang takdir dan pesan ombak
Yang gagal terbaca dermaga
itu malam

tak ada gegar kabhanti menusuk teluk
tapi bula malino telah lama bulat
menggigit kelam langit wolio,
meledek temaram bukit kolema,
juga jengkal-jengkal
halaman putih pulau makassar
meluaskan mimpi senja hari

gelap, sepi, remuk di sini
di antara detak pasar malam
dan neon-neon meninggi
ada juga lagu Anggun C. Sasmi
merobek sunyi wajah
membunuh seru adzan isya masjid raya

kamali di sepuluh,
ketika cuaca melunturi musim
padamu paman,
akan kukabar kekalahan angin
lelah menghimpit
tegar patung naga

Bau-bau, 10-11 April 2009

YANG GUGUR DAN YANG TUMBUH

yang gugur
kukremasi pada rongga bernama kebencian
pekat menguapkan rindu nan melepuh patah
mengabu bersama utas-utas tawa
entah siapa yang pernah memintalnya

sekaku dayung menggaris kedamaian arus
yang tumbuh
kuserahkan untuk mekar dalam doamu
meliuk tak acuh meski tercekik hembus nafas
para pendosa

yang gugur
likat berbaur debu-debu
yang tumbuh
riang berbalut siang
menunggu sepi menjahit malam

Kamar, 5 februari 2009

LAPULU

Lapulu kampung bermata sayu
tanah cerah penyaksi silsilah
searus angin Moramo dan Pantai Nambo

diantara kirmizi getah jati
memancar airmu
yang berkecipak mimpi-mimpi

seraya memeluk Teluk Kendari
kau bersandar pada gurauan sunyi Abeli
hanya pada wajahmu
waktu menenun pagi begitu putih
disesaki mitos tak berkesudahan
dari kompleks warga transmigran

sore hari ditemani nyanyian burung Jikki
senja berbenah begitu merah
seperti kasumba di warung Masnuna

masih kugenggam kenangan
yang kau sulam tiap malam
tentang tembang kesayangan nenek
dan parang asahan kakek

Lapulu senyum ibuku
pada dangkal dermaga rentamu
kutemukan kedalaman puisiku

Kendari,19 Februari 2009

Ket :
Jikki adalah sebutan orang Lapulu untuk sejenis burung laut yang berkicau pagi dan senja.
Masnuna adalah nama salah satu pemilik warung di Lapulu.

SEPOTONG SAJAK

aku pernah melihat ketakutan
pada wajah sepotong sajak yang hendak kubakar
ditingkahi sendu bayangan bulan
tertatih tanpa tongkat pada tepi kusam sebuah kolam
kulengkapi deritanya dengan kisah cinta
yang tercebur comberan

17 Feb 2009

AKU. PADA SEBUAH JALAN

angin kusut masai di jalan ini
menyerakkan kata luka dan sobekan pagi
ada damai kepak merpati
mati bersama raung remah-remah hujan

menengadah di jalan ini
jejak mendung hambur di mataku
menebak-nebak luas langit hingga
epilog sajak biru
rasanya hari ini akan jadi panjang,
diskusi dengan rindu semakin ngilu

berlari di jalan ini
menerobos gersang kematian musim
aku kalah dan pecah jadi keping buah mahoni
getir, dan lebih siksa dari laut yang
memerdekakan jiwa-jiwa, sedang ia terpenjara cakrawala
menampung ketaksetiaan ombak

hanya pada jalan ini
tak kutahu ujung bersemayam
lalu dari tuturan malam
kuketahui ujung itu akan datang
mengetuk setiap pintu rumah

7 maret 2009

LELAKI KEJORA

lelakiku!

sepanjang lajur kesetiaan hari esok
sutra wajahmu tersemai
bersama rerimbun taman
mawar-mawar nanar, menemui kau
lebih tegar waktu mekar

seperti senyuman
garis tepi itu kukenal dari kedalaman obor matamu
tiba-tiba rekat di bibir malam
kala gelap mengendap
mengaburkan mimpi rerumputan

bulan menulis sajak tentang rasa bosan
lalu kubingkai deras matamu menatap aku
dalam detak jantung musim kemarau, degupnya
padam hujan berserakan
kata tak pernah cukup sesudahnya

kaulah sketsa,
lahir dari jejak pagi yang pupur
di kaca jendela
arsiran hitam putih menjelma
bebayang nyata seorang adam
merembes di nadiku
menciptakan labirin, selasar, dan trotoar,
tempat nalarku merambat, bersijingkat,
atau berlari
memburu siluetmu
kejora!

1 maret 2009

SKETSA KENANGAN

membaca gerak angin yang sesekali mengecup
lembut keningku
berkibarlah kenangan akan bulan-bulan silam
jejaknya tertinggal pada pematang waktu
yang telah mengering

ada terik yang kita pungut tiap siang
dan dingin mengiris malam
membuat hati berembun hingga fajar
lalu kau akan mengurungku dalam benderang hari
seakan mengerti ketakutanku pada gulita

cair tawamu begitu liat bekukan sunyi
dalam malam-malam tanpa tuturan para pendongeng
beribu pelita terpelihara pada matamu
karena tahu ada lorong kelam yang harus kita lalui
tak ada matahari disana

andai itu bukan kenangan
tentu ada senyum memulas bibirku petang ini
bahkan kini sketsa tentangmu samar ku ingat
kaupun menjelma malam yang habiskan terang
semua sosok mengabur dalam hadirmu

hari ini terlanjur usang
aku ingin hidup dalam diammu saja
meski senyap, meski gelap

Kendari, 21 September 2008

SEJAK MALAM TAK LAGI DIAM

menulis namamu pada genangan hujan
lebih mudah dari menuliskannya di hatiku
tolong sampaikan semuanya
termasuk rinduku pada purnama yang terbit
di malam-malam beku
ingin ku kawani dia bersemayam di rimbunan jati
yang ranggas bersua kemarau
meski itu tak mungkin lagi
sejak cahayanya terlalu menikamku
pada tenangnya gulita
sampaikan saja rinduku, entah bagaimana
atau selesaikan bait puisiku yang ini
jangan tanyakan apapun
kini aku lebih sendiri dari sebelumnya

Kendari, 20 September 2008

KEMARAU HIJAU

diantara serak teriakan kemarau
kutulis surat untuk hujan
angin-angin sahara melesatkannya menembus biru
tak kukenal lagi senyum di wajahku
aku menunggu terlalu lama untuk seutas mendung
karena rinduku telah beku
ada air mata menitik
pada tanah retak yang kupijak
lalu kau menanam sebatang pohon disitu
membiarkannya tumbuh di antara aliran air mataku
ada yakin yang kucuri dari senyummu
”tunggulah saja, kemarau berubah hijau”, katamu
kulanjutkan lagi suratku
dengan airmata terus menitik
akan kutunggu kemarau berubah hijau

kendari, 21 september 2008

ELEGI SEBUAH RINDU
Kawanku: Emma

dan matahari pun memergoki gerimis
kalau boleh biarkan kupaku pelangi
agar lekat dijendela kamarmu
kuterka kau akan tertawa

benar saja
lalu kurasakan nafasmu mengoyak lembaran angin
menguapkan berbutir luka kaku
mendung pecah menjadi rintik paling senyap

biru bergumam dibening matamu
tak sepicing kau berpaling
ada ilalang merunduk
dan terlepaslah rindu pada ibu

lengkung seuyum dalam takjub
membulatkan bianglala paling sempurna
kalau boleh biarkan ku pahat namamu
pada merahnya puncak pelangi yang rona

kamar, 17 nov -08
0.35

Wa Ode Rizki Adi Putri, lahir di Kendari pada 4 Desember 19 tahun yang lalu. Saat ini tengah menempuh pendidikan di FKIP Unhalu pada program studi PBSID. Mencintai dunia sastra dan ingin terus berkarya. Pos-el (wr.adiputri@ yahoo.com)