Suara-suara
Suara itu nyaring terdengar
Menggema sampai pelataran
Di ibukota yang terlalu riuh, bising dan berpolusi
Suara itu tetap mengalun
Telinga sebagian manusia tertutup
Dan akrab dengan dentingnya
Kini merasa risih akan kebisingan
Tuk menyapa hampa yang mulai diakrabi
Kini semua jadi kenyataan
Suara-suara itupun tak bisa dihalau
Oleh kekuatan alam yang terpesona
Atas ulah sebagian manusia
Sayup meronta, membahanakan detak
Pada batas waktu yang ditentukan
Dan dentingpun semakin berkecamuk
Di antara waktu yang berjalan
Segelintir manusia masih terpesona
Mendengarkan suara-suara yang bercengkrama
Di antara kekuatan yang merasuk
Pada jiwa sebagian manusia
Karena hilir mudik yang kian kentara
Membumikan persada nusantara
Pada janji-janji usang
Yang terkemas dalam lembut suara-suara menyapa
Hingga ngiang itu semakin kokoh
Pada kekuatan yang kian terbangun
Dari sebongkah tatanan harap
Yang semakin kosong akan masa depan
Lord of Parking
So crowded vehicle in the way
Seeking the park area
To get a rest a moment
A man is standing up
Wait a driver give a sign
Turn in left to park
To a driver is looking for space
In an empty path
In good position
Will be said by more driver
To a good parker
In his every step
Agustus 2008
Berjalan meniti jejak
Selangkah demi selangkah menuju peraduan
Nun jauh di
Yang harus dilewati
Mengungkap yang belum pasti tergali
Sebuah kisah yang masih dan akan dijalani
Sosok pergulatan diri
Dalam meniti sebuah kehidupan
Tabir dan naluri mulai bercengkrama
Menyibak apa yang harus dilakukan
Hingga pada satu pilihan
Ya atau tidak
Kecenderungan atas segala emosi
Atau kesabaran yang menanti
Jejak yang pasti berjalan
Di antara kekuatan dan bisikan menggoda
Rasa keakuan yang mendominasi
Setiap insane pemilih
Pada batas-batas persimpangannya
Harap akan sebuah asa atau bayang
Dititik kulminasi perenungan
Yang kian mendera dan berjalan
Pada benak yang terus mencari
Tapal batas di antara kedua persimpangan
Hingga akhiri satu keputusan
Ya… yang harus dilewati
Atau tidak… yang tertunda
Dan pastikan ya… karena tuk jumpai kisah yang mau diungkap
Dalam rangkaian kisah nyata
Yang pastikan tertoreh dalam sebuah perjalanan
Atau tidak…. Yang pasti terhenti
Pada persimpangannya.
14.52 WIB
Kala senja memanggil …..(marjinal)
Hela nafasku tersendat oleh dahaga yang mendulang
Sisi-sisi kehidupan terasa gelap
Amarah dan tangis membayangi rentetan tragedi esok
Menyongsong ke kehidupan yang lebih baik
Meskipun hanya sedetik, sejengkal harap tetap terus diburu
Rasa haru dan sakit terasa memaksa senja ini
Karena esok belum tentu menjadi lebih baik
Karena hari ini memang kurang baik
Apalagi hari depan
Dan akankah tetap berjalan pada batas-batas kewajaran
Atau menyesuaikan dengan kedaaan
Jikalau ada harap
Jikalau kesempatan memanggil
Jikalau ulang masih memberi harap
Akan kesempatan yang tak pernah terulang
Dan akupun masih tertunduk pada sebuah keadaan..
15.20 WIB
Larut
Ku dihentak oleh suara badai
Yang terus berdentum
Di arena pergolakan, menderu, menyisir desir sampai ke hamparan pasir
Hingga belum sempat terlewati untaian daun melambai
Ku tak pupus oleh anyir menyengat
Yang terusir sampai ke pinggiran samudra
Letih dalam kubangan desir
Hingga surut membawa ku ke tengah
Dan ku dikemudikan oleh gejolak
Alam yang kian menderu
Membisik rasa haru yang kian kuat
Menghentak hingga ke dasar lautan
Dalam dan terdalam
Sebuah kehidupan penuh pesona dan keberagaman
Terukir bersama kesejukan dan ketenangan
Mengikuti air yang terus mengalir
Mengikuti Gelembung hingga ke permukaan
Mendesir bisik keberagaman
Yang tergambar pada wajah-wajah yang terlewat
Diantara segerombolan harap
Menuju satu kehidupan yang tertuju
Dalam kancah pergolakan yang ada disekitarnya
Muatan arti dan makna yang kian terangkai
Dalam dentuman asa yang kian jauh
Terkejar dan dikejar dalam perjalanan panjang setiap mahluk
Yang terkecil hingga terbesar
Dan itupun masih dalam kejaran
Hingga bertemu pada satu sisi kebenaran
Satu titik temu yang memutuskan
Segala yang mendasar dari semua mahluk
Itupun masih dalam satu pemahaman yang terus mengalir hingga sampai pada ajal.
14.21 WIB
TERGOLEK
Luapan amarah mengusik lamunan panjang
Di antara beribu cemas yang semakin kuat
Mencengkeram naluri menciut
Menuju estetika hidup yang kian jauh
Di belantara hati dan jiwa yang belum menyatu
Terukir senyuman pahit yang menghias tatanan kalbu
Menguntai kekusutan yang kian kaku
Bersama bayangan semu menjelma
Pada kekakuan sebenarnya
Dan semua masih dalam proses …………………………………… ?
……………………………………….pada akhirnya tergolek .
11.24 WIB
Senyum
Denting waktu terus berdetak
Beribu ruang hampa menggemakan suaranya
Mendengung hingga terdengar lirih
Mengukir kenangan indah sesaat
Terbuka perlahan jendela ruang pengap
Menggores himpitan dinding
Yang terasa kian sempit
Untuk meluangkan waktu bergerak
Menyisir dan menata kaakraban
Antara waktu, ruang, dan diri
Hingga jadi satu
Menyatu dalam wujud terindah
Mewujudkan kesepakatan
Sebuah senyum dalam diri
Palembang, 06062008
Spontanitas
ah….
sang waktu mulai menjemput
saat mentari bersinar menerangi wajah kusut
malam kelam menyapa
menyaput peluh siang terang
panas..
keringat membasahi sekujur tubuh
dan sang waktu pun tetap menjulang
tinggi menjelma
dan beribu manusia mulai terkantuk
karena malam tlah memadati
jiwa yang lelah oleh gelimang dunia
namun
di saat semua mulai reda
hamparan langit pun tertawa
menyaksikan kesibukan yang meraka tinggalkan
dan suara sunyi pun mulai mencekam
dalam lelap malam yang semakin gelap.
hai
hari pun semakin sombong
diterpa waktu yang mulai redup
sebagian manusia masih bisa tertawa
menyaksikan kebisuan alam yang tak lagi bersahabat
apakah dunia tak lagi bercahaya
karena ulah segelintir manusia
emosi dan amarah terasa hampa
dijejali waktu yang kian usang
oh
adakah kerinduan akan esok
menjemput semua impian dulu
yang semakin terlupakan
oleh waktu yang semakin sempit
untuk berpijak
berkelana
dan berkelakar
menyongsong ke kehidupan mendatang.
Rindu
Jauh
Terhempas batas-batas cakrawala
Meniti buih yang tak lagi kosong
Penuhi diri atas pergolakan nurani
Meskipun hampa selalu menjemput
Diri pada batas pencarian
Cakrawala terus mengusik setiap langkah
Di saat lamunan panjang mengucap
Kepuasan batin yang terus bergolak
Menata hampa yang
Nurani akan terus berucap
Atas diri yang semakin jauh
Dari peraduan sepi
Yang kian hari kian bertambah layu
Akankah ku ungkap dan ku raih
Harapan akan sebuah cakrawala hidup yang semakin redup
Akankah peraduan itu aku jemput
Hingga ketemukan satu asa yang kian pasti
Hidup yang
Pada batas kewajaran yang nyata
Cinta
Tafakur ku di jelang malam
Mengukir rasa yang penuh harap
Hati pun terasa suntuk
Menata peraduan hidup di sela-sela waktu
Waktu masih terus bergulir
Dalam dekapan setiap detik nafas
Terengah di pertengahan jalan
Mengukir kenang yang penuh harap
Rasa pun semakin nampak
Meskipun berdetak perlahan
Di kedalaman batin
Yang terus merindukan harap
Akan esok yang terus tersenyum
Senyum yang terindah
Yang mampu membuatku hanyut
Dalam buaian malam
Yang penuh dengan gemerlap cahaya
Cahaya hati
Yang mampu menyinari relung-relung jiwa
Hingga tersirami rasa damai
Yang penuh kecintaan
Puisi kiriman dari seorang sahabat:
SEBUAH RENUNGAN JIWA
Aku berpijak pada sebuah naluri pribadi
Terlewat pada kekuasaan hati yg terlerai air mata
Bersujudku pada sebuah jiwa yang kosong
Terlewat aku ketika ahklak mulai di pertanyakan
Gurau dan canda tak bisa mencairkan asa yang telah mati
Kusebut namanya semakin keras
Walaupun dengan bantuan hembusan suara angin
Tetap saja membuatku tersungkur pada pusara khilafan
Hati bernanar derita hawa nafsu menguasai jiwa
Aku lelah jiwa ku juga lelah ketika semua di pertanyakan
Ku bangun dengan napas yang sesak
Kumulai mencari jati diri dengan sedikit rasa percaya diri
Semua tak dapat bergerak dengan semestinya arapkan jiwa
Kumerintih dan menjerit
Ku tak berdaya tak kala takdir berbicara
Ku hanya merintih menyesali segala keegoisan hati
Ku hanya menangis menyesali kebusukan jiwa
Tanpa kusadar ku terjatuh dalam pelukan ilahi
Tanpa sadar hati ini butuh sentuhan rohani
Tanpa sadar ku menitikkan air mata penyesalan
Dan kusadar ku butuh menyucikan diri
Dan kusadar ku telah lalai pada jiwa ini
Renungan jiwa
By:
Merkin ball distro
Fitri widiyanti
1 komentar:
KAMALI DI SEPULUH
;Pamanku Alfailun
Sapoaati yang menjalari pantai
Mencipta prahara
Tentang takdir dan pesan ombak
Yang gagal terbaca dermaga
itu malam
tak ada gegar kabhanti menusuk teluk
tapi bula malino telah lama bulat
menggigit kelam langit wolio,
meledek temaram bukit kolema,
juga jengkal-jengkal
halaman putih pulau makassar
meluaskan mimpi senja hari
gelap, sepi, remuk di sini
di antara detak pasar malam
dan neon-neon meninggi
ada juga lagu Anggun C. Sasmi
merobek sunyi wajah
membunuh seru adzan isya masjid raya
kamali di sepuluh,
ketika cuaca melunturi musim
padamu paman,
akan kukabar kekalahan angin
lelah menghimpit
tegar patung naga
Bau-bau, 10-11 April 2009
YANG GUGUR DAN YANG TUMBUH
yang gugur
kukremasi pada rongga bernama kebencian
pekat menguapkan rindu nan melepuh patah
mengabu bersama utas-utas tawa
entah siapa yang pernah memintalnya
sekaku dayung menggaris kedamaian arus
yang tumbuh
kuserahkan untuk mekar dalam doamu
meliuk tak acuh meski tercekik hembus nafas
para pendosa
yang gugur
likat berbaur debu-debu
yang tumbuh
riang berbalut siang
menunggu sepi menjahit malam
Kamar, 5 februari 2009
LAPULU
Lapulu kampung bermata sayu
tanah cerah penyaksi silsilah
searus angin Moramo dan Pantai Nambo
diantara kirmizi getah jati
memancar airmu
yang berkecipak mimpi-mimpi
seraya memeluk Teluk Kendari
kau bersandar pada gurauan sunyi Abeli
hanya pada wajahmu
waktu menenun pagi begitu putih
disesaki mitos tak berkesudahan
dari kompleks warga transmigran
sore hari ditemani nyanyian burung Jikki
senja berbenah begitu merah
seperti kasumba di warung Masnuna
masih kugenggam kenangan
yang kau sulam tiap malam
tentang tembang kesayangan nenek
dan parang asahan kakek
Lapulu senyum ibuku
pada dangkal dermaga rentamu
kutemukan kedalaman puisiku
Kendari,19 Februari 2009
Ket :
Jikki adalah sebutan orang Lapulu untuk sejenis burung laut yang berkicau pagi dan senja.
Masnuna adalah nama salah satu pemilik warung di Lapulu.
SEPOTONG SAJAK
aku pernah melihat ketakutan
pada wajah sepotong sajak yang hendak kubakar
ditingkahi sendu bayangan bulan
tertatih tanpa tongkat pada tepi kusam sebuah kolam
kulengkapi deritanya dengan kisah cinta
yang tercebur comberan
17 Feb 2009
AKU. PADA SEBUAH JALAN
angin kusut masai di jalan ini
menyerakkan kata luka dan sobekan pagi
ada damai kepak merpati
mati bersama raung remah-remah hujan
menengadah di jalan ini
jejak mendung hambur di mataku
menebak-nebak luas langit hingga
epilog sajak biru
rasanya hari ini akan jadi panjang,
diskusi dengan rindu semakin ngilu
berlari di jalan ini
menerobos gersang kematian musim
aku kalah dan pecah jadi keping buah mahoni
getir, dan lebih siksa dari laut yang
memerdekakan jiwa-jiwa, sedang ia terpenjara cakrawala
menampung ketaksetiaan ombak
hanya pada jalan ini
tak kutahu ujung bersemayam
lalu dari tuturan malam
kuketahui ujung itu akan datang
mengetuk setiap pintu rumah
7 maret 2009
LELAKI KEJORA
lelakiku!
sepanjang lajur kesetiaan hari esok
sutra wajahmu tersemai
bersama rerimbun taman
mawar-mawar nanar, menemui kau
lebih tegar waktu mekar
seperti senyuman
garis tepi itu kukenal dari kedalaman obor matamu
tiba-tiba rekat di bibir malam
kala gelap mengendap
mengaburkan mimpi rerumputan
bulan menulis sajak tentang rasa bosan
lalu kubingkai deras matamu menatap aku
dalam detak jantung musim kemarau, degupnya
padam hujan berserakan
kata tak pernah cukup sesudahnya
kaulah sketsa,
lahir dari jejak pagi yang pupur
di kaca jendela
arsiran hitam putih menjelma
bebayang nyata seorang adam
merembes di nadiku
menciptakan labirin, selasar, dan trotoar,
tempat nalarku merambat, bersijingkat,
atau berlari
memburu siluetmu
kejora!
1 maret 2009
SKETSA KENANGAN
membaca gerak angin yang sesekali mengecup
lembut keningku
berkibarlah kenangan akan bulan-bulan silam
jejaknya tertinggal pada pematang waktu
yang telah mengering
ada terik yang kita pungut tiap siang
dan dingin mengiris malam
membuat hati berembun hingga fajar
lalu kau akan mengurungku dalam benderang hari
seakan mengerti ketakutanku pada gulita
cair tawamu begitu liat bekukan sunyi
dalam malam-malam tanpa tuturan para pendongeng
beribu pelita terpelihara pada matamu
karena tahu ada lorong kelam yang harus kita lalui
tak ada matahari disana
andai itu bukan kenangan
tentu ada senyum memulas bibirku petang ini
bahkan kini sketsa tentangmu samar ku ingat
kaupun menjelma malam yang habiskan terang
semua sosok mengabur dalam hadirmu
hari ini terlanjur usang
aku ingin hidup dalam diammu saja
meski senyap, meski gelap
Kendari, 21 September 2008
SEJAK MALAM TAK LAGI DIAM
menulis namamu pada genangan hujan
lebih mudah dari menuliskannya di hatiku
tolong sampaikan semuanya
termasuk rinduku pada purnama yang terbit
di malam-malam beku
ingin ku kawani dia bersemayam di rimbunan jati
yang ranggas bersua kemarau
meski itu tak mungkin lagi
sejak cahayanya terlalu menikamku
pada tenangnya gulita
sampaikan saja rinduku, entah bagaimana
atau selesaikan bait puisiku yang ini
jangan tanyakan apapun
kini aku lebih sendiri dari sebelumnya
Kendari, 20 September 2008
KEMARAU HIJAU
diantara serak teriakan kemarau
kutulis surat untuk hujan
angin-angin sahara melesatkannya menembus biru
tak kukenal lagi senyum di wajahku
aku menunggu terlalu lama untuk seutas mendung
karena rinduku telah beku
ada air mata menitik
pada tanah retak yang kupijak
lalu kau menanam sebatang pohon disitu
membiarkannya tumbuh di antara aliran air mataku
ada yakin yang kucuri dari senyummu
”tunggulah saja, kemarau berubah hijau”, katamu
kulanjutkan lagi suratku
dengan airmata terus menitik
akan kutunggu kemarau berubah hijau
kendari, 21 september 2008
ELEGI SEBUAH RINDU
Kawanku: Emma
dan matahari pun memergoki gerimis
kalau boleh biarkan kupaku pelangi
agar lekat dijendela kamarmu
kuterka kau akan tertawa
benar saja
lalu kurasakan nafasmu mengoyak lembaran angin
menguapkan berbutir luka kaku
mendung pecah menjadi rintik paling senyap
biru bergumam dibening matamu
tak sepicing kau berpaling
ada ilalang merunduk
dan terlepaslah rindu pada ibu
lengkung seuyum dalam takjub
membulatkan bianglala paling sempurna
kalau boleh biarkan ku pahat namamu
pada merahnya puncak pelangi yang rona
kamar, 17 nov -08
0.35
Wa Ode Rizki Adi Putri, lahir di Kendari pada 4 Desember 19 tahun yang lalu. Saat ini tengah menempuh pendidikan di FKIP Unhalu pada program studi PBSID. Mencintai dunia sastra dan ingin terus berkarya. Pos-el (wr.adiputri@ yahoo.com)
Posting Komentar